Minggu, 30 Maret 2008

Pasar Gedhe Hardjonagoro

Pasar secara harafiah berarti berkumpul untuk menukar barang atau jual beli sekali dalam 5 hari Jawa. Pasar diduga dari kata Sansekerta Pancawara. Pasar dalam konsep urban Jawa adalah kejadian yang berulang secara ritmik dimana transaksi sendiri tidak sentral. Sentral dalam kegiatan pasaran adalah interaksi sosial dan ekonomi dalam satu peristiwa. Berkumpul dalam arti saling bertemu muka dan berjual beli pada hari pasaran menjadi semacam panggilan sosial periodik. Kata lain dari pasar adalah peken yang kata kerjanya mapeken artinya berkumpul.

Peken adalah tempat berkumpul yang tidak berkaitan dengan upacara. Berbeda dengan berkumpul karene ada ‘gawe’ atau upacara atau ‘slametan’, kegiatan pasar atau peken tidak dititipi oleh ritual atau simbol-simbol. Ini menjadi petunjuk, bahwa hari pasar bukanlah peristiwa dimana manifestasi kekuasaan itu mengalami proses transformasi. Pada pertemuan ritual atau ‘slametan’ , orang Jawa percaya adanya transformasi kekuatan-kekuatan yang mempengaruhi stabilitas Jagad Jawa. Jika pasar dipandang sebagai kejadian periodik yang tidak bersangkut-paut dengan konsep kekuasaan secara langsung, letak pasar secara urban Jawa tidak di alun-alun. Pasar akan menjadi kejadian di luar alun-alun dan masuk ke dalam kegiatan marga yang menyebabkan kehidupan dunya bisa berlangsung.

Pasar atau peken di kehidupan urban Majapahit terletak di simpang empat yang menjadi titik orientasi sebelum masuk ke kuta-negara. Dari titik inilah dapat diketahui daerah-daerah yang ada dalam kawasan urbannya. Peken Agung memiliki arti tersendiri bagi Majapahit, karena di tempat pertempuran antara Pajajaran dan Majapahit akibat kesalahan fatal Maha Patih Gajahmada di alun-alun Bubat. Peken Agung disebut dalam sejarah Majapahit bukan sekedar pasar tetapi tempat mengingatkan pada kepahitan sejarah (Bagoes P.Wiryomartono, 1995).

Sejak awal abad XIX, perdagangan terus bertambah ramai, beras dari daerah Surakata banyak dijual ke Semarang, Yogyakarta dan juga Salatiga. Barang dari kulit, emas dan perak sudah diperdagangkan. Di samping itu barang impor yang dimasukkan melalui pelabuhan Semarang antaralain kain putih, piring, cangkir, dan barang-barang dari porselin, bumbu, ikan asin, gambir, besi, baja, dan kuda (Wiliam Joseph O’malley, 1983). Barang-barang itu ada yang diangkut dengan perahu ke pedalaman melalui Sungai Bengawan Solo. Sejak jaman kuno sungai mempunyai fungsi yang berbagai macam, antara lain untuk kepentingan ekonomi, sosial, politik maupun militer. Mengingat desa Sala yang akhirnya menjadi ibu kota Kerajaan Surakarta, letaknya dekat dengan sungai Bengawan, yaitu sungai terbesar di Jawa, maka tidak mustahil sejak zaman kuno daerah Sala menjadi tempat yang ramai. Perahu dari Gresik menyusur sungai Bengawan sampai di kota Sala dan masih dapat diteruskan ke hulu sejauh 20 paal. Muatan utama perahu itu adalah garam dan ikan asin untuk konsumsi di pedalaman. Gula dan kopi dari Surakarta banyak dijual ke Surabaya dan Semarang.

Waktu itu Sungai Bengawan Solo cukup dalam dan airnya tidak pernah kering. Airnyapun jernih karena terpeliharanya lingkungan alam sekitar. Maklumlah pada waktu itu jumlah penghuni kawasan Surakarta belum begitu banyak seperti sekarang ini. Fungsi Bengawan Solo merupakan sarana lalu lintas pengiriman barang. Misalnya saja kalau Kraton Surakarta akan membangun bagian kraton atau memperbaikinya, biasanya kayu untuk tiang atau bagian bangunan rumah itu menggunakan kayu jati yang bersal darai hutan Danalaya. Pengiriman kayu jati yang usianya sudah berpuluh tahun dari hutan Danalaya ke kraton dengan jalan dilemparkan ke dalam air Bengawan Sala. Anehnya, kayu jati glondongan tersebut pasti akan sendirinya masuk kali dalam kraton. Kali kecil itu disebut Kali Larangan. Sekarang kali itu sudah tertutup jalan umum aspal (Sala Membangaun, 1989).

Di depan pasar Gede Hardjonagoro melintas Kali Pepe yang membelah kota Solo, dahulu terdapat dermaga yang dapat menampuh perahu-perahu pedagang tersebut. Dengan demikian daerah tersebut merupakan daerah perdagangan yang cukup ramai kala itu. Barang-barang dagangan dijual dipasar oleh para pedagang di hari-hari pasaran. Hari pasaran ini antara pasar satu dengan yang lainnya tidak bersamaan. Adanya perbedaan siklus pasaran ini dimaksudkan agar terjadi distribusi kegiatan ekonomi yang merata di setiap daerah, sehingga akan diperoleh transaksi yang bergiliran. Pasar Gede di Kota Solo, setiap harinya banyak dikunjungi pedagang dan pembeli dan pada hari pasaran, pasar tersebut menjadi sangat ramai oleh transaksi yang dilakukan para pedagang. Baik pedagang dari daerah setempat atau pedagang dari luar daerah ( Dwi Ratna Nurharjani, 1999)

Dalam perkembangan selanjutnya lingkungan Pasar Gede tersebut berkembang dengan pesat membentuk suatau pusat kegiatan masyarakat kota. Dengan tumbuhnya bangunan baru dan pemukiman Cina disekitarnya menjadikan kekuasaan Belanda makin berkuasa pada lingkungan ini dan mengalahkan lingkungan Kraton, hal ini terjadi pada saat pemerintahan Kolonial Belanda di Indonesia.

Pada pemerintahan sekarang pengelolaan dan kepemilikan Pasar Gede Hardjonagoro adalah Pemerintah Daerah Tingkat II Surakarta, dengan Sub Dinas Pasar sebagai pengelola hariannya.


2 komentar:

rosa zulfikhar mengatakan...

Link saya ya

Inaitra mengatakan...

Pak, jika postingan bapak yang "Pasar Gedhe Hardjonagoro" ini diberi gambar pendukung pasti akan terlihat lebih menarik :)