Pasar secara harafiah berarti berkumpul untuk menukar barang atau jual beli sekali dalam 5 hari Jawa. Pasar diduga dari kata Sansekerta Pancawara. Pasar dalam konsep urban Jawa adalah kejadian yang berulang secara ritmik dimana transaksi sendiri tidak sentral. Sentral dalam kegiatan pasaran adalah interaksi sosial dan ekonomi dalam satu peristiwa. Berkumpul dalam arti saling bertemu muka dan berjual beli pada hari pasaran menjadi semacam panggilan sosial periodik. Kata lain dari pasar adalah peken yang kata kerjanya mapeken artinya berkumpul.
Peken adalah tempat berkumpul yang tidak berkaitan dengan upacara. Berbeda dengan berkumpul karene ada ‘gawe’ atau upacara atau ‘slametan’, kegiatan pasar atau peken tidak dititipi oleh ritual atau simbol-simbol. Ini menjadi petunjuk, bahwa hari pasar bukanlah peristiwa dimana manifestasi kekuasaan itu mengalami proses transformasi. Pada pertemuan ritual atau ‘slametan’ , orang Jawa percaya adanya transformasi kekuatan-kekuatan yang mempengaruhi stabilitas Jagad Jawa. Jika pasar dipandang sebagai kejadian periodik yang tidak bersangkut-paut dengan konsep kekuasaan secara langsung, letak pasar secara urban Jawa tidak di alun-alun. Pasar akan menjadi kejadian di luar alun-alun dan masuk ke dalam kegiatan marga yang menyebabkan kehidupan dunya bisa berlangsung.
Pasar atau peken di kehidupan urban Majapahit terletak di simpang empat yang menjadi titik orientasi sebelum masuk ke kuta-negara. Dari titik inilah dapat diketahui daerah-daerah yang ada dalam kawasan urbannya. Peken Agung memiliki arti tersendiri bagi Majapahit, karena di tempat pertempuran antara Pajajaran dan Majapahit akibat kesalahan fatal Maha Patih Gajahmada di alun-alun Bubat. Peken Agung disebut dalam sejarah Majapahit bukan sekedar pasar tetapi tempat mengingatkan pada kepahitan sejarah (Bagoes P.Wiryomartono, 1995).
Sejak awal abad XIX, perdagangan terus bertambah ramai, beras dari daerah Surakata banyak dijual ke
Waktu itu Sungai Bengawan Solo cukup dalam dan airnya tidak pernah kering. Airnyapun jernih karena terpeliharanya lingkungan alam sekitar. Maklumlah pada waktu itu jumlah penghuni kawasan
Di depan pasar Gede Hardjonagoro melintas Kali Pepe yang membelah
Dalam perkembangan selanjutnya lingkungan Pasar Gede tersebut berkembang dengan pesat membentuk suatau pusat kegiatan masyarakat kota. Dengan tumbuhnya bangunan baru dan pemukiman Cina disekitarnya menjadikan kekuasaan Belanda makin berkuasa pada lingkungan ini dan mengalahkan lingkungan Kraton, hal ini terjadi pada saat pemerintahan Kolonial Belanda di Indonesia.
Pada pemerintahan sekarang pengelolaan dan kepemilikan Pasar Gede Hardjonagoro adalah Pemerintah Daerah Tingkat II Surakarta, dengan Sub Dinas Pasar sebagai pengelola hariannya.